Kota Jakarta akan diperluas menjadi kota aglomerasi
haijakarta.com – Mendagri Tito memastikan Kota Jakarta nantinya akan diperluas menjadi kota aglomerasi. Hal tersebut menyusul status Jakarta usai tidak lagi menjadi daerah khusus ibu kota (DKI).
Tito mengungkapkan opsi kota aglomerasi ini dipilih karena tak perlu mengubah arah pembangunannya secara administrasi menjadi kota megapolitan atau metropolitan.
“Satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya, terutama yang mau jadi common program,” tutur Tito.
Artinya, Kota Bekasi tetap menjadi Kota Bekasi di bawah Jawa Barat dengan dipimpin oleh Wali Kota. Hanya saja, ke depan, arah kebijakan pembangunan bakal mensinkronkan pada program dari kota aglomerasi.
Konsep pembangunan Jakarta sebagai kota aglomerasi akan diarahkan oleh satu badan khusus yang nantinya dikenal sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi. Dengan tugas dan fungsi seperti Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua.
Dewan Kawasan Aglomerasi yang akan menjadi badan khusus pembangunan Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya itu akan dipimpin oleh wakil presiden. Konsepnya sama seperti peranan wapres sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua saat ini dengan tugas harmonisasi, sinkronisasi, serta evaluasi kebijakan pembangunan.
“Jadi ditangani oleh wapres dan ini mirip seperti yang sudah kita lakukan di Papua dibentuk Badan Percepatan Pembangunan Papua yang tugasnya sama, harmonisasi, evaluasi, bukan mengambil alih kewenangan pemda,” kata Tito
Meski akan dipimpin wapres, Tito mengatakan, tidak berarti kebijakan pembangunannya akan diambil alih dari pemerintah daerah atau pemda. Sebab, eksekusi kebijakannya tetap dilakukan oleh masing-masih pemda di wilayah yang termasuk aglomerasi.
Aglomerasi: Fenomena Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota
Aglomerasi merupakan fenomena terkait pertumbuhan perkotaan yang signifikan, di mana wilayah perkotaan memperluas batas-batasnya secara cepat dan terjadi konsentrasi penduduk yang tinggi. Fenomena ini terutama terjadi di negara-negara berkembang di mana urbanisasi meningkat secara dramatis akibat migrasi penduduk dari desa ke kota untuk mencari peluang ekonomi dan pekerjaan.
Aglomerasi biasanya terjadi di sekitar kota-kota besar atau metropolitan yang menjadi pusat ekonomi, politik, dan sosial suatu wilayah. Wilayah aglomerasi sering kali memiliki infrastruktur yang lengkap, pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan, serta berbagai fasilitas umum lainnya yang menarik penduduk untuk tinggal dan bekerja di sana.
Salah satu contoh aglomerasi yang terkenal adalah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) di Indonesia. Wilayah ini merupakan salah satu kawasan perkotaan terbesar di dunia dengan populasi yang sangat padat dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di sini, terjadi pertumbuhan kota yang sangat cepat, dengan perluasan permukiman, pembangunan infrastruktur, dan urbanisasi yang terus berlangsung.
Fenomena aglomerasi memiliki dampak yang kompleks, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, aglomerasi dapat meningkatkan produktivitas ekonomi karena terciptanya pasar tenaga kerja yang besar, inovasi teknologi, dan pertumbuhan industri. Di sisi lain, aglomerasi juga dapat menimbulkan masalah seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara, kepadatan penduduk yang tinggi, dan ketimpangan sosial-ekonomi antar wilayah.
Untuk mengelola dampak-dampak negatif tersebut, diperlukan perencanaan perkotaan yang baik, pengembangan infrastruktur yang terarah, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kesejahteraan penduduk perkotaan. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan agar pertumbuhan kota dapat berlangsung secara harmonis dengan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat.
Dengan pemahaman yang mendalam tentang fenomena aglomerasi dan upaya-upaya untuk mengelola dampaknya, diharapkan perkotaan dapat menjadi tempat yang lebih nyaman, berkelanjutan, dan berkualitas bagi seluruh penduduknya.